Sebagai makhluk sosial, kita selalu berusaha untuk hidup bermasyarakat. Kita coba semampu kita untuk membantu sesama, baik berupa bantuan fisik, materi maupun doa. Namun di tengah pertolongan-pertolongan itu, seringkali muncul sebuah penyakit hati yang dapat merusak nilai ketulusan. Penyakit hati itu adalah riya yang datangnya dengan sangat sembunyi-sembunyi.
Itulah sebabnya mengapa riya diumpamakan seperti semut hitam yang merayap di atas batu yang hitam di dalam kegelapan malam.
Kadang mungkin kita merasa tersia-siakan jika bantuan kita tidak dipedulikan oleh orang lain. Mungkin memang sudah alamnya manusia untuk selalu menginginkan apresiasi atas usaha yang sudah dilakukan. Banyak dari kita yang mungkin tidak menyadari betapa sudah seringnya kita menjadi orang yang riya. Seberapa seringnyakah kita menginginkan agar kita dibanggakan oleh orang lain? Seberapa seringnyakah kita menginginkan agar nama kita diucap dan dielu-elukan orang-orang di sekitar kita? Dan pernahkah kita mendoakan orang lain dengan berharap agar orang itu mengetahui bahwa kita mendoakannya?
Jadilah kita seperti para pahlawan sejati, kita berbuat keadilan dan menjunjung tinggi kebenaran bukan karena berharap sanjungan, tapi karena itu menjadi alam kita. Jadilah kita seperti orang-orang yang beriman, yang berbuat amal baik bukan karena mengharap surga, dan yang menjauhi amal buruk bukan karena menghindari neraka, tapi karena itu menjadi alam kita yang selalu ingin dekat denganNya. Sekuat apakah kita mampu menahan ego ini? Semampu apakah kita untuk mengutamakan kebahagiaan orang lain daripada kebanggaan diri ini? Lupakanlah angan-angan mencari sanjungan itu karena sifatnya hanya sementara, namun jiwa kepahlawananmu adalah untuk kau simpan selamanya.
"The true hero doesn't seek adulation, he fights for right and justice simply because it's his nature." - Sheldon Cooper