Friday, 25 April 2008

Musuh Yang Nyata

Manusia adalah tempatnya salah, mungkin kita semua seiring dengan bertambahnya kedewasaan kita akan semakin sadar bahwa perkataan itu memanglah benar. Entah sudah berapa banyak kesalahan-kesalahan yang kita lakukan dalam hidup ini. Entah sudah berapa banyak dosa-dosa yang kita tumpuk dalam catatan hidup kita ini. Beberapa dari kesalahan itu mampu kita pertanggung jawabkan, mampu kita selesaikan dengan baik. Namun, beberapa dari dosa itu pula tak mampu kita lepaskan dari bayang-bayang kita, dan terus menghantui batin kita seumur hidup ini.


Kadang kita selalu menyalahkan diri kita saat terjerumus ke dalam sebuah dosa. Benar-benar kita pandang diri ini sangat tercela, betapa tak mampunya kita menahan hawa nafsu ini. Betapa tak mampunya kita menunjukkan sebuah kualitas yang selama ini kita idam-idamkan untuk mencegah diri dari berbuat kesalahan. Dan saat kita sudah mulai memandang diri kita rendah, terjatuhlah pula mental kita. Sikap negatif dan pesimispun akhirnya menjadi karakter diri ini.

Tapi, bukanlah memang setan adalah musuh kita yang benar-benar nyata?

Kadang kita tidak sadar bahwa bisikan setan selalu ada dalam diri kita, selalu ada di balik kesadaran kita. Bukankah jika kita bertemu musuh kita, seseorang yang benar-benar kita benci, apapun yang ia katakan, apapun yang ia perintahkan, sesungguhnya benar-benar akan kita tolak? Sesungguhnya kebencian kita kepada seseorang atau sesuatu akan membuat kita menjauhinya, akan membuat kita menolak untuk berurusan dengannya. Namun kadang kita seringkali terlupa dengan musuh kita yang tidak terlihat ini. Seandainya kita mampu melihat mereka dengan mata hati kita, akan tersadarkan diri ini untuk tidak mengikuti perkataannya. Akan tersadar hati ini untuk menolak ajakannya.

Sesungguhnya mencela diri bukanlah sesuatu yang buruk, karena memang kesadaran seorang hamba akan kesalahannya akan membuatnya menyesal dan merenung. Tapi penyesalan hanyalah menguntungkan jika diiringi dengan doa dan taubat kepada Tuhannya. Taubat agar diampuni semua dosa-dosanya, dan doa agar dituntun dirinya untuk menjadi seseorang yang lebih baik dalam hidup ini.

"Hell is the highest reward that the devil can offer you for being a servant of his." - Billy Sunday

Thursday, 3 April 2008

Damai Dalam Hati


Saat jiwa sedang dalam sebuah ujian, nampaknya berat sekali untuk menemukan kebahagiaan. Pikiran yang sebelumnya terbuka, kini menjadi tertutup. Kenangan-kenangan yang penuh dengan kenikmatan, kini menjadi alasan untuk melihat ke masa lalu dan bersedih saat melihat ke masa sekarang. Kapankah kita akan sadar bahwa memang cobaan tidak hanya datang sekali, tidak dua kali, namun berkali-kali sepanjang hidup kita. Saat satu cobaan selesai, apakah kita tidak ingat bahwa suatu saat itu akan datang lagi untuk menguji kita kembali?

Kadang kita berpikir bahwa cobaan adalah sebuah kejadian yang harus kita lewati, seperti kecelakaan, kegagalan, rasa sakit, ataupun meninggalnya seseorang yang kita cintai. Namun, mungkin cobaan tak harus berbentuk sebuah kejadian.

Mungkin cobaan bisa saja berupa sebuah kurun waktu, di mana hati ini penuh dengan kegelisahan, pikiran ini penuh dengan kekhawatiran, dan jiwa ini penuh dengan rasa haus akan kasih sayang.

Baik rasa kasih sayang dari keluarga, orang yang kita cintai, maupun dari Tuhan kita. Dan saat-saat seperti inilah kita baru menyadari pentingnya kedamaian hati yang dulu kita punya. Saat-saat seperti inilah kita baru menyadari nikmatnya sebuah rasa nyaman dalam hati yang Tuhan dulu beri kepada kita secara cuma-cuma, namun kita selalu lupa untuk mensyukurinya. Saat-saat seperti inilah kita baru sadar dan mengakui, bahwa kita benar-benar membutuhkannya kembali.

Namun, sebagaimana kebahagiaan yang dulu ada kini telah hilang, akan datang pula sebuah kurun waktu dimana kebahagiaanlah yang akan berpihak kepada kita. Sabar, ikhlas dan doa adalah kuncinya! Para nabi benar-benar banyak diberikan masa dimana mereka hanya mampu bertahan hidup dengan kesabaran dan doa, lalu siapakah kita yang menginginkan derajat yang tinggi, setinggi para nabi, namun menolak untuk melewati masa-masa ini?

Dengan keikhlasan kita mampu melewati ini. Kadang kita berpikir bahwa kita hanya sendiri dalam melewati sebuah cobaan. Namun, jika memang benar semua orang yang merasa dalam kesendirian berpikir demikian, maka kita semua sebenarnya sedang melewatinya bersama-sama.